Langsung ke konten utama

Tinggal di Gubuk (Kisah kuliah di negeri orang)

Halo, teman-teman! Tidak terasa saya sudah tujuh bulan menetap di negeri David Beckham, hehe. Menjalani studi sebagai mahasiswa internasional program master memang penuh asam manis. Di tulisan kali ini saya ingin berbagi sedikit cerita tentang hidup di negara lain.

Seperti judulnya, betul bahwa saya saat ini tinggal di GUBUK. Gubuk, betulan gubuk. Tapi bukan gubuk derita yah, eitss, hehe. Alhamdulillah, gubuk bahagia, hehe. Gubuk dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai cottage, dan kalau “cottage” dalam Bahasa Indonesia biasanya lebih berkaitan dengan tempat liburan mewah lengkap dengan kolam renang. Tapiiiii…. Cottage tempat saya tinggal bukanlah tempat seperti itu. Kalau menurut saya cottage di sini lebih seperti rumah kecil. 



Yah walaupun rumah kecil, saya senang tinggal di tempat ini. Namanya Lafrowda Cottage, rumah/bangunan di sini pake nama (hmmm). Tempat tinggal saya adalah salah satu akomodasi milik kampus. Rumah kecil dengan 5 kamar, 1 kamar mandi bersama, dan 1 dapur untuk bersama juga. Menurut saya tempat ini sudah cocok dengan ukuran kantong mahasiswa dan lokasinya lumayan nyaman karena masih berada di lingkungan kampus dan tidak jauh dari pusat kota. Oya, sebelumnya saya tinggal di salah satu apartemen akomodasi kampus paling ketcehhh, wkwk, itu menurutku yahh… namanya Birks Grange Village.



Di sana saya kamar jenis studio. Hm, studi yang dimaksud di sini bukanlah studi seperti studio foto yah atau studio gambar, wkwk. Jadi ada tiga jenis kamar atau tempat ngekos yang bisa teman-teman temukan  jika ingin tinggal di akomodasi/asrama kampus. Pertama jenis, studio yaitu kamar yang dilengkapi dengan tempat tidur, meja belajar, kamar mandi dan dapur. Lengkap deh kalau yang ini, satu set coyyy… kedua, jenis en-suite, yang ini bedanya adalah dapur di luar kamar atau dengan kata lain berbagi dengan flatmates (teman kos) yang lain. Yang terakhir adalah standard room, seperti yang saya tinggali sekarang, kamarnya Cuma untuk belajar dan tidur tapi kamar mandi dan dapur harus berbagi dengan para flatmates.

Nampaknya memang lebih nyaman tinggal di studio. Tapi diriku stress dengan mahalnya biaya. Studio bisa 2 kali lipat biaya untuk standar room. Kalau dihitung rupiah, sekitar 9 jutaan lebih perbulan, terkuras ATM kasiannn <T,T> wkwkwk. Dulu pas daftar untuk akomodasi kampus, standard roomnya sudah pada dibooking orang, jadinya terpaksa ambil studio room. Daripada tidak ada tempat yang dituju saat tiba di negara studi. Yah terpaksalah. Hiks hiks. Jadi bila ingin lanjut studi ke luarb negeri, salah satu hal penting yang perlu dipersiapkan adalah soal akomodasi. Lebih baik ambil akomodasi kampus dan mendaftarnya secepat mungkin agar tidak kehabisan kamar yang sesuai dengan dana hidup/beasiswa kita, hehe. Untung saya tinggal di studio itu cuma sebulan setelah itu dapat kamar standar di akomodasi kampus, nah itulah cottage tempat tinggal saya sekarang.

OK. Kembali ke laptop. Ups, maksudnya kembali ke cottage. Karena Lafrowda Cottage adalah akomodasi kampus jadi para residents (anak kosnya) umumnya yang jenjang pendidikannya sama, contoh sesama undergraduate students (anak2 S1) atau sesama postgraduate students (anak2 S2 dan S3). Saya serumah tinggal dengan 4 mahasiswi S2 jurusan akutansi, sumber daya manusia, hukum, dan investasi. Mereka semua berasal dari Cina, cantik, dan ramah, hehe. Senang bisa serumah dengan mereka. Tiga dari mereka beragama budha dan 1 tidak beragama.

“Wow!!!”. Sebagai orang Indonesia dan muslim, saya “sedikit” terkejut awalnya kenal orang yang tidak punya agama. Seperti mereka juga merasa yang “Wow!!!” saat tahu saya harus sembahyang 5 kali sehari menghadap arah tertentu, saat mereka lihat alat sholat saya yang unik, dan saat mereka tahu saya tidak pakai tisu untuk “toilet duty”, hahaha.

Beda budaya dan kepercayaan. Tapi bukan berarti saya berhak menghakimi mereka atas apa yang mereka lakukan dan begitu pula sebaliknya. KITA SALING MENGHARGAI. Alhamdulillah, saya bersukur bahwa mereka menghargai apa yang berbeda dari saya dan sayapun berlajar menghargai apa yang mereka lakukan. Contoh, mereka sadar bahwa saya tidak makan babi dan hanya bisa makan daging halal, jadi yang ditawarkan kepada saya saat kita “nongkrong” bareng adalah buah-buahan saja. Soal makanan ini isu sensitif bagi banyak orang tapi entah mengapa saya menganggapya pengalaman unik dari berstudi di luar negeri. Kadang saya tertawa sendiri ketika membuka kulkas dan menemukan daging babi mulai dari sosis, daging babi iris, potongan daging perut babi, dan tulang sum-sum ada banyak di kulkas di mana saya juga meletakkan makanan saya (untuk makanan saya dan makanan mereka selalu terbungkus cantikkk, jadi tidak khawatir, hehe). Kadang mereka yang tertawa saat saya menuangkan minyak untuk menggoreng telur. TERLALU BANYAK teriak mereka. Saya tertawa, mereka geleng-geleng kepala. Bahkan ada yang terkejut ketika saya cerita bahwa di rumah, kami bisa menghabiskan minimal 2 liter minyak goreng perbulan. Sementara flatmates saya ini, minyak gorengnya baru satu kali beli selama mereka kuliah *kayaknya*, wkwkwk.

Banyak hal yang unik soal makanan. Ada yang masak ikan pakai coca cola, pengganti asam kayaknya ini, haha. Ada yang makan alpukat sebagai sayur, kalau di Kendari, itu bahan bikin jus kasian, wkwk. Ada yang makan sup tomat yang dihaluskan, *rasa apami ini kasian, hehe*. Ada yang makan yogurt sebagai makan siang, terpana saya soal ini. Kadang saya rasa “lain-lain” soal menu mereka tapi mereka juga pasti berpikir begitu tentang menu makanan saya. Bagaimana tidak, pagi-pagi saya makan nasi, mereka makan sereal, ketawa mereka… yah mau bagaimana lagi, masa mau cari bubur ayam atau songkolo pagi-pagi di Inggris. Kan tidak mungkin, hahaha. Tapi karena kita berbeda, semuanya jadi unik ^^

Kuncinya adalah beradaptasi. Kuliah di luar negeri itu bukan soal tempatnya semata, bukan untuk jeprat jepret foto cuco untuk social media, bukan untuk jalan-jalan tanpa beban. Beradaptasi adalah tantangannya. Harus makan cukup, tidur cukup, sehat dan bertenaga untuk belajar. (makanya sekarang ge*dut, hahaha. Makan mulu sih). Intinya makanan adalah salah satu kunci utama, karena pura-pura bahagia itu butuh tenaga, haha * apaSih, wkwk. Jadi untuk teman-teman yang ingin lanjut studi ke luar negeri siap-siaplah belajar masak makanan untuk diri sendiri. Di sini, tidak ada ibu, tante, kakak perempuan, atau keluarga manapun yang memasak untuk dirimu (ini pengalaman pribadi, hiks hiks). Harus bisa sendiri (hiks hiks, sedihnya diricuuu). Minimal tahulah masak nasi, sayur, ikan/daging supaya tidak menderita di negeri orang. Hmmm, tapi bisa juga sih pesan makanan, itu malah gampang dan tidak capek, hehe (nasihat apa sih ini -,-).

Pokoknya harus bisa mandirilah, hehe. Asikkk. Aduh ngomong-ngomong soal makanan, jadi lapar, haha. Sekian dulu kalau begitu untuk postingan kali ini, Salam semangat dari Exeter, dari musim awal musim semi yang rasanya masih seperti musim dingin. Cheers mate \^o^/.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Personal Statement!!! I'm coming...

Halo semuanya!!! Kabar gembira untuk anda semua *ini bukan iklan lohh. Dalam tulisan kali ini saya akan sedikit berbagi tentang berkas-berkas yang kamu butuhkan saat ingin berburu LOA, surat sakti tanda diterima di universitas di luar negeri. Dibacanya dengan hati yah, biar setresssnya dapet, hehehe. Tapi jangan sampai "baper" yah (pengalaman pribadi dulu baper cari LOA ) karena walaupun terlihat susah tapi insyaAllah adaaa jalaannn hooo... loh kok nyanyi, *maapin yoo. Intinya kalau kita berhenti berusaha (dibaca:menyerah) maka selesailah semuanya. Here we go. Sekarang saya sudah tiba di Exeter, Devon, UK. Masih pusing pengaruh kelamaan di pesawat tapi mumpung masih ada waktu berleha-leha makanya dimanfaatkan . Di postingan sebelumnya, saya janji untuk share tentang personal statement (surat ini jadi salah satu pertimbangan kampus dalam menerima mahasiswanya). Jadi kalau teman-teman ingin lanjut di luar negeri, harus bisa buat personal statemnt sendiri dalam bahas

Wawancara Beasiswa LPDP (Rasa Campur-Campur)

Di  postingan sebelumnya , saya sudah sempat bercerita tentang perjalanan saya hingga dinyatakan lulus berkas. Kali ini saya akan berbagi cerita tentang tahapan seleksi beasiswa LPDP selanjutnya yaitu Essay On the Spot, Leaderless Group Discussion (LDG), dan wawancara. Ups, tapi postingan ini akan lebih fokus ke wawancara. *tidak adil yah? Hehe. Maaf yoo... Sedikit info saja, saya hanya berusaha yang terbaik, sebisa saya, semampunya, semua-muanya. Pokonya keluarkan kemampuan menulis kamu sebaik mungkin menyesuaikan dengan waktu yang disediakan untuk Essay on the spot dan berdiskusilah dengan anggun, jangan nyolot tapi santun dan mengandung argumen yang tepat untuk LGD. Saya berusaha sebaik mungkin untuk essay dan LDG tapi tetap saja saya menyiapkan persiapan "ekstra" untuk wawancara. KENAPA? Bukan karena wawancara lebih penting dari yang lain tapi karena saya tahu itu salah satu kelemahan saya. I am not that bright comparing to the other stars (apasihhh pake bahasa Inggr

LoA, Jembatan Menuju Beasiswa

Halooooo..... Apa kabar teman-teman dimanapun berada. :D Waktu baru menunjukan pukul 4.30 am (waktu Exeter, UK) saat saya memulai tulisan ini, entah jam berapa di kampung halaman saya, hiks hiks *mulai homesick/cengeng banget sih, wkwkwk, Berhubung perkuliahan belum benar-benar dimulai, saya rasa ini waktu yang tepat untuk membagikan sedikit cerita tentang apa yang terjadi saat kita ingin SERIUSS kuliah di luar negeri. Harus serius loh, karena perjalanan untuk menuju "ke sana" sangat panjang dan berliku, serius deh. Beberapa orang mungkin menghabiskan setahun persiapan, mungkin kurang, tapi dari yang saya lihat dan alami, 1 tahun lebih (banyak lebihnya) untuk mewujudkannya. Saya sendiri mulai "bergerak" memburu kesempatan kuliah di luar negeri pada bulan Maret 2015 dan akhirnya bisa berangkat pada bulan September 2016. Jadiiiii yah hitung sendirilah, lama kan? Tapi jangan karena lama lantas menyerah, jangan karena susah lantas putus asa. Kalau orang lain