Hufff....
Membuang napas. Sendiri, aku duduk di jejeran bangku panjang.
Brr... HP berdering. Bapak memanggil.
"Iya pak, lagi tunggu pesawat berangkat"
"Bapak dan adik-adik tunggu hingga pesawatnya berangkat, baru kami pulang ke rumah"
"OK, mungkin 5 menit lagi. Setelah ini hpku mati yah. Nanti aku
telepon lagi setelah sampai di Jakarta"
"Iya, jangan lupa berzikir yah di pesawat. Selalu berdoa"
"Iya pak. Aku tutup yah. Assalamualaikum"
"Wa alaikum salam".
Menoleh aku ke kiri. Di sepinya ruang tunggu bandara. Seperti ada bayangan almarhumah ibu duduk di sampingku. Tersenyum.
Sepertinya. Khawatir juga dalam raut wajahnya. Anak gadisnya akan berangkat ke
tanah Eropa.
Dalam bayangku, ibu begitu jelas. Segar wajahnya. Tak ada
perih. Tak ada sakit yang ia rasakan. Hanya sedikit khawatir bercampur bahagia
dan doa.
***empat tahun lalu***
Tersentak aku terbangun di tengah malam itu. Sekitar jam 10 malam.
"Dewi bangun, ibumu... ibumu.." teriak bapak.
Ibu sudah kejang. Stroke menyerang lagi.
"Istighfar bu, la illaha illallah, zikir bu.."
"La ilahaillallah"
Itu kalimat terakhir yang terdengar dari bibir ibu. Setelah itu
tak ada lagi suaranya. Hanya air matanya terus menetes. Tak henti-hentinya. Teramat
sakit mungkin ia rasakan saat itu.
Ibu terkena stroke setelah mendengar kabar keponakannya hamil di
luar nikah. Panik mungkin yang ia rasa, bingung dan kaget, sehingga tekanan darahnya
melonjak tajam.
Tekanan darah ibu 200 per 100. Lebih. Iya. Lebih dari itu, ketika
aku lihat angka tekanan darah ibu di bed side monitor di ruang ICU 4 jam kemudian. Ibu sudah berbalut selang di sana dan
sini. Zikirku tak henti. Hanya tuhan yang tahu, apa yang akan terjadi pada
hari-hari setelah itu.
Tiga hari kemudian.
Aku termanggu.
Duduk mematung, menatapi liang lahat, jenazah ibu, terbungkus
kafan. Diturunkan perlahan-lahan.
"La illahaillallah" terdengar riuh di sekitarku.
"Ibu masih ada, hanya saja ia harus melanjutkan perjalanan ke
alam selanjutnya. Itu saja" Pikirku.
Setengah sadar aku saat itu. Rasanya kaki tidak berpijak di tanah.
Pikiran kosong. Air mataku tak mengalir lagi. Hampir kering mungkin.
Rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang terlalu nyata.
Ini pasti mimpi, sebentar lagi aku akan terbangun dan ibu masih
ada. Iya ini pasti mimpi, kataku lagi dalam hati. Kalau ini nyata, tidak
mungkin ada Si Kunyuk di sini, membantu menurunkan jenazah ibuku ke liang
lahat. Tidak mungkin ini nyata, karena Si Kunyuk itu teman yang tak pernah akur
denganku. Teman yang tidak pernah bisa duduk tenang di sampingku tanpa melihat
aku menderita. Musuh bebuyutan semenjak SMA. Tidak mungkin itu dia. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi.
Tiga jam kemudian
... Brrr .... HP bergetar, badanku meringkuk di tepi tempat tidur,
sejenak tertidur dan terbangun karena bunyi sms yang masuk. Pesan bela sungkawa
tak henti-hentinya masuk, bahkan dari dua ibu guruku yang sedang lanjut studi
S2 di tanah jawa. Satu sms terakhirnya yang membuatku sedikit terkejut.
"maaf tadi pulang duluan" sms dari Si Kunyuk. Yakinlah aku bahwa yang
aku lihat tadi bukan mimpi dan sadarlah aku bahwa ibu kini telah tiada.
***September 2016***
Penumpang penerbangann Garuda GA605 tujuan Jakarta harap menuju gate 1. Suara
pemberitahuan memecah khayalan. Air mata hampir mengalir di ujung mata. Sudahlah. Saatnya berangkat. Kendari - Jakarta - Dubai -
Skotlandia - Inggris. Perjalanan akan segera dimulai.
"Kunyuk, aku berangkat yah" pesan terkirim. "Hati-hati
yah" Si Kunyuk membalas.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar